Perbedaan sering dibuat antara matematika terapan dan matematika yang sepenuhnya berorientasi pada pertanyaan dan konsep abstrak, dikenal sebagai matematika murni. Seperti cabang matematika lainnya, batas ruang lingkupnya cair. Ide-ide yang awalnya berkembang dengan terapan tertentu dalam pikiran sering diperumum kemudian, setelah itu bergabung dengan persediaan umum konsep matematika. Beberapa bidang matematika terapan bahkan telah bergabung dengan bidang praktis untuk menjadi disiplin ilmu tersendiri, seperti statistika, riset operasi, dan ilmu komputer.
Mungkin yang lebih mengejutkan adalah ketika ide mengalir ke arah lain, dan bahkan matematika “paling murni” mengarah pada perkiraan atau terapan yang tidak terduga. Misalnya, teori bilangan menempati tempat sentral dalam kriptografi modern, dan dalam fisika, turunan dari persamaan Maxwell mendahului bukti eksperimental gelombang radio dan kecepatan konstan cahaya. Fisikawan Eugene Wigner menamakan fenomena ini sebagai “keefektifan matematika yang tidak masuk akal”.[10]
Hubungan luar biasa antara matematika abstrak dan realitas material telah menyebabkan perdebatan filosofis setidaknya sejak zaman Pythagoras. Filsuf kuno Plato berpendapat ini mungkin karena realitas material mencerminkan objek abstrak yang hadir tanpa terikat waktu. Akibatnya, pandangan bahwa “objek matematika terabstraksi dengan sendirinya” sering disebut sebagai Platonisme. Sementara sebagian besar matematikawan biasanya tidak menyibukkan diri dengan pertanyaan yang diajukan oleh Platonisme, sebagian matematikawan lainnya justru lebih berpikiran filosofis dalam bertindak dan dikenali sebagai Platonis, bahkan pada masa kini.[47]
Kreativitas dan intuisi
Lihat pula: Keindahan matematis
Kebutuhan akan kebenaran dan kekakuan tidak berarti matematika tidak memiliki tempat untuk kreativitas. Sebaliknya, sebagian besar pekerjaan matematika di luar perhitungan hafalan membutuhkan pemecahan masalah yang cerdas dan mengeksplorasi perspektif baru secara intuitif.
Kecenderungan matematis seringkali tidak hanya melihat https://www.amarfoundation.org/wp-includes/slot-dana/ kreativitas, tetapi juga nilai estetika dalam matematika, yang biasa digambarkan sebagai keanggunan. Kualitas seperti kesederhanaan, kesimetrisan, kelengkapan, dan keumuman sangat berharga dalam pembuktian dan teknik. G. H. Hardy dalam karyanya A Mathematician’s Apology menyatakan keyakinan bahwa pertimbangan estetika ini, dengan sendirinya, cukup untuk membenarkan kajian matematika murni. Dia juga mengidentifikasi kriteria lain seperti signifikansi, tak terduga, dan keniscayaan, yang bersumbangsih pada estetika matematika.[48]
Paul Erdős mengungkapkan sentimen ini secara lebih ironis dengan berbicara tentang “The Book”, yang dianggap sebagai koleksi ilahi dari bukti-bukti yang paling indah. Terinspirasi oleh Erdős, kumpulan argumen matematika yang sangat ringkas dan inspiratif telah diterbitkan dalam Proofs from THE BOOK. Beberapa contoh hasil yang sangat elegan adalah bukti Euklides bahwa ada tak-hingga banyaknya bilangan prima dan transformasi Fourier cepat untuk analisis harmonik.
Beberapa orang merasa bahwa penganggapan matematika sebagai ilmu pengetahuan adalah berarti meremehkan seni dan sejarahnya dalam tujuh pengetahuan budaya tradisional.[49] Salah satu cara perbedaan sudut pandang ini terjadi adalah dalam perdebatan filosofis mengenai apakah hasil matematis diciptakan (sebagaimana dalam seni) atau ditemukan (sebagaimana dalam ilmu pengetahuan).[50] Kemasyhuran matematika rekreasi adalah tanda lain dari kesenangan yang ditemukan banyak orang dalam memecahkan pertanyaan matematika.
Pada abad ke-20, matematikawan L. E. J. Brouwer bahkan memprakarsai perspektif filsafat yang dikenal sebagai intuisionisme, yang mengenali matematika dengan proses kreatif tertentu dalam pikiran.[51] Intuisionisme pada gilirannya adalah satu rasa dari sikap yang dikenal sebagai konstruksivisme, yang hanya menganggap absah suatu objek matematika jika dapat langsung dibangun, tidak hanya dijamin oleh logika secara tidak langsung. Hal ini menyebabkan para konstruktivis berkomitmen untuk menolak hasil tertentu, terutama argumen seperti bukti eksistensial yang didasarkan pada hukum yang mengecualikan posisi tengah.[52]